Bagimu, kemerdekaan bumi pusaka.
Drama ini terjadi pada tanggal 19 Januari 1949, sebulan sesudah Tentara Kolonial Belanda melancarkan aksinya yang kedua dengan merebut ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Tentara kolonial telah pula siap siaga untuk melancarkan serangan kilat hendak merebut sebuah kota strategis yang hanya dipertahankan oleh satu batalion Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di kota itulah si Bapak dikagetkan oleh kedatangan putra sulungnya yangmendadak muncul setelah bertahun-tahun merantau tanpa kabar berita. Si Sulung kembali pulang dengan membawa sebuah usul yang sangat mengagetkan si Bapak. Waktu itu sekitar pukul 10.00. Si Bapak yang sudah lanjut usia, berjalanhilir mudik dengan membawa beban persoalan yang terus-menerus merongrong pikirannya.
Bapak : Dia, putra sulungku. Si Anak hilang telah kembali pulang. Dan sebuah usul diajukan; segera mengungsi ke daerah pendudukan yang serba aman tenteram. Hem, ya . . . ya. Usulnya dapat kumengerti. Karena ia sudah terbiasa hidup di sana. Dalam sangkar. Jauh dari deru prahara. Bertahun mata hatinya digelapbutakan oleh nina-bobo, lela-buai si penjajah. Bertahun semangatnya dijinakkan oleh roti-keju. Celaka, oo, betapa celaka nian
Si Bungsu senyum memandang.
Bungsu : Ah, Bapak rupanya lagi ngomong seorang diri.
Bapak : Ya, anakku, terkadang orang lebih suka ngomong pada diri sendiri. Tapi bukankah tadi kau bersama abangmu?
Bungsu : Ya. Sehari kami tamasya mengitari seluruh penjuru kota. Sayang sekali, kami tidak berhasil menjumpai Mas . . . .
Bapak : Tunanganmu?
Bungsu : Ah, dia selalu sibuk dengan urusan kemiliteran melulu. Bahkan, ketika kami mendatangi asramanya, ia tak ada. Kata mereka, ia sedang rapat dinas. Heheh, seolah seluruh hidupnya tersita olehurusan-urusan militer saja.
Bapak : Kita sedang dalam keadaan darurat perang, Nak. Dan dalam keadaan begini, bagi seorang prajurit kepentingan negara ada di atas segalanya. Bukan saja seluruh waktunya, bahkan juga jiwa raganya. Tapi, eh, mana abangmu sekarang?Bungsu : Oo, rupanya dia begitu rindu pada bumi kelahirannya. Seluruh penjuru dipotreti semua. Tapi kurasa abang akan segera tiba. Dan sudahkah Bapak menjawab usul yang diajukannya itu?
Bapak : Itulah, itulah yang hendak kuputuskan sekarang ini, Nak.
Bungsu : Nah, itulah dia!
Si Sulung datang dengan mencangklong pesawat potret, mengenakan kacamata hitam. Terus duduk, melepas kacamata, dan meletakkan pesawat potret di meja.
Sulung : Huhuh, kota tercintaku ini rupanya sudah berubah wajah. Dipenuhi baju seragam menyandang senapan. Dipagari lingkaran pagar kawat berduri. Wajahnya kini menjadi garang berhiaskan laras-laras senapan mesin. Tapi di atas segalanya, kota tercintaku ini masih tetap memperlihatkan kejelitaannya.
Bapak : Begitulah, Nak, suasana kota yang sedang dicekam keadaan darurat perang.
Sulung : Ya, pertanda akan hilang keamanan, berganti huru-hara keonaran. Dan, mumpung masih keburu waktu, bagaimana dengan putusan Bapak atas usulku itu?
Bapak : Menyesal sekali, Nak . . . .
Sulung : Bapak menjawab dengan penolakan, bukan?
Bapak : Ya.
Bungsu : Jawaban Bapak sangat bijaksana.
Sulung : Bijaksana!?! Ya, kau benar manisku. Setidak-tidaknya demikian anggapanmu karena bukankah secara kebetulan tunanganmu adalah seorang perwira TNI di sini. Tapi, maaf, bukan maksudkumenyindirmu, adik sayang
Bungsu : Ah, tidak mengapa. Kau hanya sedang keletihan. Mengasolah dulu, ya, Bang. Mengasolah, kau begitu capek nampaknya. Bapak, aku pergi belanja dulu untuk hidangan makan siang nanti. Si Bungsu pergi, si Sulung mengantar dengan senyum.
Bapak : Nak, pertimbanganku bukanlah karena masa depan adikmu seorang. Juga bukan karena masa depan sisa usiaku.
Sulung : Hem. Lalu? Karena rumah dan tanah pusaka ini barangkali ya, Bapak?
Bapak : Sesungguhnyalah, Nak, lebih karena itu.
Sulung : Oo ya?!? Apa itu, Pak?
Bapak : Kemerdekaan.
Sulung : Kemerdekaan!?! Kemerdekaan siapa!
Bapak : Bangsa dan bumi pusaka.
Si Sulung tertawa.
Sulung : Bapak yang baik. Bertahun aku hidup di daerah pendudukan sama bersama beribu bangsa awak yang tercinta. Dan aku seperti juga mereka, tidak pernah merasa jadi budak belian ataupun tawanan perang. Ketahuilah ya, Bapak, di sana kami hidup merdeka.
Bapak : Bebaskah kau menuntut kemerdekaan?
Sulung : Hoho, apa yang mesti dituntut, kami di sana manusia merdeka.
Bapak : Bagaimana kemerdekaan menurut kau, Nak?
Sulung : Hem. Di sana kami punya wali negara, bangsa awak. Di sana segala lapangan kerja terbuka lebar-lebar bagi bangsa awak. Di sana, bagian terbesar tentara polisi, alat negara bangsa awak. Di atas segalanya, kami di sana hidup dalam damai. Rukun berdampingan antara si putih dan bangsa awak . . . . Bapak : Dan di atas segalanya pula, di sana si putih menjadi yang dipertuan. Dan sebuah bendera asing menjadi lambang kedaulatan, lambang kuasa penjajahan. Dapatkah itu diartikan suatu kemerdekaan?
Bapak : Nak, kemerdekaan atau penjajahan selalu soal politik. Selalu buah politik.
Sulung : Baik, baik. Tapi ya, Bapak, kita bukan politisi.
Bapak : Nak, setiap patriot pada hakikatnya adalah seorang diplomat, seorang negarawan. Dan, justru karena kesadaran dan pengertian politiknya itulah, seorang patriot akan senantiasa membangkang terhadap tiap politik penjajahan. Betapapun manis bentuk lahirnya. Renungkanlah itu, Nak. Dan marilah kuambil contoh masa lalu. Bukankah dulu semasa kita masih hidup dalam alam Hindia-Belanda. Kita hidup serba kecukupan dalam sandang-pangan. Kesejahteraan hidup keluarga dalam suasana aman tentram dan masa pensiun yang enak, sudah dengan sendirinya berarti hidup dalam kemerdekaan? Tidak, anakku! Kemerdekaan adalah soal harga diri kebangsaan, soal kehormatan kebangsaan. Ia ditentukan oleh kenyataan, apakah suatu bangsa menjadi yang dipertuan mutlak atas bumi pusakanya sendiri atau tidak. Ya, anakku, renungkanlah kebenaran ucapanku ini. Renungkanlah.
Sulung : Menyesal ya, Bapak. Rupanya kita berbeda kutub dalam tafsir makna . . .
Bapak : Namun kau Nak, kau wajib untuk merenungkannya. Sebab, aku yakin kau akan mampu menemukan titik simpul kebenaran ucapan itu