Selasa, 23 Februari 2016

Sebutkan Syarat-syarat kritik dalam karya sastra dan contoh Esai?

Syarat-syarat kritik dalam karya sastra sebagai berikut.
1. Kritikan harus berupaya membangun dan menaikkan taraf kehidupan sastra.
2. Kritikan harus bersifat objektif tanpa prasangka dan secara jujur dapat mengatakan yang baik itu baik dan yang kurang itu kurang

3. Kritikan harus mampu memperbaiki: cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja para sastrawan sebab hal itu memberi pengaruh terhadaphasil karyanya.

4. Kritikan harus disesuaikan dengan lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku serta memiliki rasa cinta dan tanggung jawab yang mendalam terhadap pembinaan kebudayaan dan tata nilai yang benar.

5. Kritikan dapat membimbing pembaca berpikir kritis dan dapat menaikkan kemampuan apresiasi masyarakat terhadap sastra. Selain kritik, dikenal juga esai baik esai sastra maupun esai nonsastra. Esai adalah karangan yang membahas suatu masalah secara sepintas dari sudut pandang pribadi penulisnya. Dalam esai, penulis membahas suatu objek yang aktual menggunakan sudut pandang pribadi. Esai berisi pendapat atau pandangan pribadi penulis terhadap suatu objek. Esai berupaya meyakinkan pembaca untuk menerima pendapat atau pandangan. Objek esai boleh apa saja dari masalah kecil sampai masalah besar, seperti masalah ekonomi, kebudayaan, sosial, keamanan, karya sastra, atau politik.

Esai cenderung singkat, padat, dan terfokus pada objek yang ditulis. Esai menggunakan gaya bahasa yang sangat pribadi atau personal sesuai dengan karakter sang penulis. Selain itu, pilihan kata atau istilah yang digunakan pun sangat pribadi. Gaya bahasa dan pilihan kata yang digunakan pada esai ditentukan oleh penulis esai sendiri. Misalnya Mahbuh Djunaedi (alm.), ia dikenal sebagai penulis esai dengan gaya bahasa satire (sindiran). Banyak sindiran yang dikemukakan oleh Mahbuh. Esai menggelitik, jenaka, dan enak dibaca walaupun isinya merupakan kritik pedas. Esai dapat Anda temukan/baca di media cetak, seperti surat kabar atau majalah
 
Contoh Esai
 Sajak-Sajak Cerah
Elaborasi terhadap kata-kata yang marak dilakukan oleh para penyair di tahun 1970-an. Berbagai upaya pembebasan kata serta pemanfaatan musikalitas serta kandungan nuansa kata didapat dari akar tradisi. Di awal tahun 1980-an mulai dianggap selesai atau telah sampai pada titik jenuh. Tahun 1980-an perhatian utama para penyair cenderung beralih pada imaji. Kata-kata cenderung diberi peran terutama sebagai alat menciptakan dan menyampaikan imaji (gambar dalam pikiran serta hati) dari penyair atau sajak untuk para pembacanya. Bila pada dasawarsa sebelumnya dilakukan upaya pembebasan bagi katakata,pada periode berikutnya, tahun 1980-an, imajilah yang ingin dibebaskan. Kata-kata hanya sekadar alat untuk membangun kehadiran imaji yang kebebasannya bisa begitu ekstrem, sehingga tak perlu

diperhitungkan apakah sinkron dengan imaji-imaji pada ungkapan-ungkapan dari larik-larik atau bait-bait sebelum atau sesudahnya. Sajak sebagai kesatuan dari berbagai imaji yang saling mendukung dalam suatu kesatuan, kurang dihiraukan. Imaji-imaji tidak diupayakan saling bahumembahu untuk mengarah pada suatu pemusatan (fokus).


 Agaknya ada pengaruh pandangan posmo yang sedang populer waktu itu. Yang pentingkehadiran berbagai imaji walau hanya sesaat, artinya boleh dihapus oleh imaji sebelumnya atau berikutnya. Dalam bentuk yang ekstrem, sajak seakan membiarkan pembaca memilih imaji-imaji atau lariklarik atau bait-bait mana yang penting, dan selebihnya boleh dianggap sebagai intro, epilog, atau ornamen, yang bisa pula dibuang atau tak dibaca. Mitos bahw setiap kata dalam sajak adalah penting dan tidak bisa diabaikan atau dihapus, tidak lagi dipercayai. Membaca sajak bisa dianggap membaca suatu teks yang cerai-berai dan pecah-belah. Teori gestalt adalah angin yang sudah lalu. Tidak heran kalau sajak bisa jadi gelap. Minim pintu, arah, tanda, dan isyarat yang diberikan pada pembaca untuk menciptakan sesuatu yang masuk hati dan akal sehat.
 

Namun, kegelapan sebuah sajak adalah kebebasan bagi pembaca. Sajak yang ekstrem gelap menciptakan pembaca yang ekstrem merdeka. Kebebasan ekstrem dari pembaca untuk menunda atau membuangnya sebagai sajak. Atau pembaca mencipta kembali sajak yang dibaca, dalam porsi yang lebih dari diri pembaca dibandingkan dengan diri sajak.
 

Mungkin karena jenuh, di tahun 1990-an para penyair kembali menulis puisi dengan memerhatikan kata dan tidak melulu menekankan kehadiran kebebasan imaji sebagai yang utama. Kata-kata diupayakan menciptakan keutuhan sajak. Dan sajak menjadi transparan. Tentu saja yang dituliskan di atas adalah gejalagejala atau kecenderungan yang sengaja dibuat hitam putih untuk penyederhanaan. Kelekatan kata dengan imaji adalah suatu yang niscaya, jadi memisahkan satu dengan yang lainnya tidak segampang membedakan toilet pria dan toilet perempuan. Juga hendaknya diingat sajak gelap ataupun sajak terang tidak langsung berkaitan dengan mutu, sebagaimana mutiara hitam dan putih adalah sama-sama mutiara. Di samping itu, elaborasi pada kata-kata saja bisa pula  menimbulkan sajak yang gelap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan 300x250

Recent post

Popular Posts